Saya kembali pada kehidupan awal kegiatan tulis menulis saya yang pada mulanya ‘ngelantur’, itulah alamiah saya, bakat alami saya yang sulit sekali untuk bisa menjelaskan sesuatu menjadi lebih mudah. Padahal saya tahu, setelah saya membaca di Padepokan Budi Rahardjo yang artikelnya berjudul Simpler…(lupa link-nya), saya menjadi ingin belajar untuk bisa dan mampu dalam segala hal menyederhanakan masalah yang rumit menjadi sederhana. Think Hard, Explain with full of Simple menjadi obsesi saya. Saya sungguh terkesan dengan ungkapan seorang Profesor Ilmu Komputer UI, Prof. Djati Kerami,
”Sederhana itu indah, oleh karena itu mulailah dari hal yang sederhana untuk menyelesaikan masalah yang rumit.”
Dulu, ketika saya ada ide untuk menulis sebuah karya ilmiah, atau apalah mungkin tidak pantas disebut karya, judulnya Cultural Shift in School, A study about degeneration of feeling shy between students each other, ah.. itu cuma keren-kerenan saja dalam Bahasa Inggris, tetapi baru beberapa paragraf menulis pendahuluannya saya terhenti. Karena yang saya tulis kelihatannya aneh. Baca saja di bawah ini,
Sebuah MukadimahDunia sekolah memang dunia yang penuh dengan bermacam-macam aneka rupa beserta ragam perilaku remaja yang kian menjadi-jadi. Semuanya membentuk kompleksitas kehidupan yang sangat rumit dan penuh akan penjelasan yang tidak masuk akal. Pengaruh yang luas akibat globalisasi yang merasuk dan memaksa menerobos sekat-sekat kehidupan remaja akhirnya memunculkan sebuah bom waktu. Tinggal menunggu kesiapan para remaja untuk menerima apa yang akan terjadi pada masa depan.
Rasa malu adalah milik manusia dan itu ada dan mutlak keberadaannya. Kedudukannya sebagai makhluk sosial sangat prestise dibandingkan makhluk-makhluk lain. Wajar, malu adalah sifat alamiah manusia —sadar atau tidak. Malu terkadang bisa menjadi tameng. Manakala rasa malu hilang maka tameng itu pun menajdi rapuh, lemah, tidak berdaya dan hanya ditutupi ego semata.
Dan itu benar-benar menjadi kenyataan. Benih-benih mulai muncul di permukaan, rasa malu itu hilang dari kewajaran. Pantaskah seorang murid menyontek?, pantaskah seorang murid menghina guru?, pantaskah seorang murid menjilat temannya untuk menduduki ranking di kelas?, pantaskah seorang murid ini dan itu untuk melakukan hal yang pada hakikatnya memunculkan rasa malu.
Tulisan ini begitu berantakan dan jelas tak layak disebut sebagai kajian scientific.
Padahal niat awal saya ingin menjadikan tulisan itu rampung, tetapi baru di
awal saya sudah merasa aneh melihat tulisan saya. Penggunaan bahasa yang berlebihan
dan penjelasan yang terikat keindahan sastra menjadikan tulisan ini tidak cocok
sebagai bahan kontemplasi mendalam. Memang ini yang saya cari.
Sadarilah, ini terobosan besar. Pada suatu masa tertentu kapanpun, dulu, atau bisa sekarang perkembangan kemampuan manusia di segala bidang selalu berkembang —termasuk kriminalitas, waspadalah... waspadalah. Di kajian mendalam, scientific pun tidak lepas akan ikatan dan cengkeraman inovasi yang membabi buta ini. Suatu maha karya monumental menjadikan objek scientific bisa dipahami semua khalayak --penonton televisi lugu sekalipun. Tidak terpenjara dalam buih intelektualisme yang kering dan gersang, yang penuh dengan formalisme dan pleonasme.
Terobosan baru ini ditulis oleh seorang anak muda yang nyentrik dan artistik. Penuh gejolak tetapi miskin pengalaman. Gairahnya akan sesuatu rencana besar melebihi siapapun tetapi praktiknya tidak segairah anak TK. Tidak usah diberi tahu nama, sebab apa artinya sebuah nama. Karena hanya mengubah pandangan dan perspektif pola pikir yang membaca tulisan berantakan ini.
Kajian yang sangat mendalam namun tidak praktis ini diperoleh penulis ketika merenung di WC sekolah —Ih... bau. Bukan masalah dari mana datangnya ide tetapi bagaimana menyikapi ide tersebut. Insight berada dimana-mana tanpa harus ber-brainstorming terlebih dahulu. Kedatangannya seperti halilintar yang memecah batok kepala yang penuh ide-ide cemerlang. Semua ide keluar bak air memancar dari keran.
Lanjutannya,
Penjelasan Singkat
Menyontek sekarang biasa. Sebiasa kita ulangan di akhir bab. Bertanya saat ulangan sekarang disenangi karena merasa hebat tidak ketahuan guru. Sangat parah. Tidak separah yang lebih parah.
Busyeet... parah euy gw menulis apaan ini, tetapi keren juga bahasanya (narsis ni gw). Kelihatanya sastra tetapi sains. Sains atau sastra. Ya.. dua-duanya lah biar gak ribet. Pusing-pusing amat, auk ah gelap.
Tetapi kelihatannya saya menyadari bahwa...
Idealisme pikiran sulit diungkapkan. Saya tahu, pengungkapan seluruh inti gagasan
saya sepertinya tersalurkan oleh permainan-permainan kata yang saya tulis. Menulis
seperti ini terasa tidak ada hambatan. Semuanya mengalir secara alami. Setelah
menulis seperti itu pikiran terasa lega dan perasaan menjadi tidak ada beban.
0 comments:
Post a Comment