Indonesia dikenal sebagai bangsa religius. Di berbagai sudut negeri, suara azan berkumandang lima kali sehari, ibadah-ibadah keagamaan berjalan khidmat, dan perayaan hari-hari besar agama dirayakan dengan semarak. Data juga menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia mengaku menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Namun di balik nuansa religius yang kental, realita sosial justru menyajikan ironi. Fenomena korupsi, ketidakjujuran, pelanggaran hak orang lain, hingga lemahnya keadilan sosial seolah menjadi pemandangan sehari-hari. Lantas, mengapa bangsa yang religius justru gagal menciptakan masyarakat yang bermoral?

Salah satu penyebab utamanya adalah religiusitas di Indonesia lebih bersifat seremonial daripada substantif. Banyak individu menjalankan ritual-ritual agama secara rutin, namun tidak benar-benar menginternalisasi nilai moral yang diajarkan agama dalam kehidupan sosial. Salat dan puasa dijalankan, tetapi perilaku mengambil hak orang lain tetap terjadi. Mengaji rutin dilakukan, namun sikap curang dalam bekerja dan berbisnis masih marak. Religiusitas akhirnya menjadi sekadar identitas simbolik, bukan kekuatan etik.

Selain itu, budaya feodalisme dan patronase yang masih kuat di berbagai lapisan masyarakat turut melanggengkan praktik-praktik yang merusak moralitas sosial. Posisi sosial sering kali menjadi pembenaran untuk mendapatkan perlakuan istimewa, termasuk dalam hal keadilan. Hal ini diperparah dengan ketidakadilan hukum yang kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem keadilan dan menormalisasi perilaku yang seharusnya dilarang agama maupun norma sosial.

Keteladanan moral dari pemimpin yang seharusnya menjadi panutan pun kerap absen. Ketika elite politik, pejabat publik, hingga tokoh agama gagal menjaga integritas, masyarakat cenderung permisif dan pragmatis. Nilai keberhasilan pun bergeser, dari ukuran moralitas menjadi sekadar status dan kekayaan. Pendidikan moral yang lebih banyak berbicara soal hafalan dogma ketimbang diskusi etika praktis turut membuat masyarakat kesulitan mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama dalam dinamika sosial modern.

Pada akhirnya, problem utama Indonesia bukan kekurangan agama, melainkan kekurangan internalisasi nilai agama dalam kehidupan sosial dan sistem bernegara. Nilai keadilan, kejujuran, amanah, dan penghormatan terhadap hak orang lain seharusnya menjadi fondasi bersama, bukan sekadar jargon. Tanpa upaya serius untuk menjembatani antara religiusitas simbolik dan moralitas substantif, paradoks ini akan terus menjadi wajah buram bangsa yang sesungguhnya kaya nilai-nilai luhur.

Tulisan ini dibuat sepenuhnya oleh ChatGPT

https://chatgpt.com/share/68005e96-e6d0-800e-8a99-fd66cbf82439

Inspirasi: