Semua anak yang dilahirkan memiliki potensinya masing-masing. Salah besar jika kita mengatakan dia bodoh karena kita melihat hanya pada sisi kekurangan yang dimilikinya dan tidak melihatnya secara keseluruhan. Jika kita lebih teliti dan mau mengamati apa yang disukai oleh seorang anak, maka itulah minatnya. Kita harus menggalinya secara mendalam potensi anak secara spesifik. Siapa tahu anak itu menjadi ahli pada apa yang diminatinya.

Satu alasan mengapa anak harus dikembangkan pada satu minat yang dominan karena manusia adalah makhluk yang terspesialisasi. Seorang anak yang tumbuh dengan bimbingan intensif dari kedua orangtuanya, dia akan menjadi lebih berkembang. Bimbingan ini berupa pengarahan sesuai bakat yang dimiliki anak. Sebagai orang tua sudah semestinya bisa mengidentifikasi bakat anaknya masing-masing.

Meskipun kelihatannya ini berlawanan dengan pendapat ahli psikologi kecerdasan, Howard Gardner, namun kita berbicara kenyataan. Kemampuan otak yang telah disebut-sebut tidak terbatas kenyataannya itu ada batasnya (kita terbatas untuk mengembangkan otak anak yang tak terbatas. Satu hal yang sama, bukan?). Konsep idealnya menyebutkan bahwa seorang anak sebenarnya memiliki banyak potensi, baik dalam bahasa, musik, olahraga, sains, dan lain-lain. Dan dari tiap anak misalkan kita beri mereka pelatihan tentang bakat-bakat itu, ada kemungkinan mereka bisa menguasainya dengan baik. Dan ini alamiah, karena seorang anak sudah dianugerahkan memiliki delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik-gerak, kecerdasan ruang-spasial, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, dan yang terakhir kecerdasan naturalis. Dari sekian kecerdasan itu ada kemungkinan seorang anak akan dominan pada satu kecerdasan yang menunjukannya pada bakat spesifik.

Maka dari itu dari sekian banyak bakat-bakat yang berpotensial itu tinggal kita memilih bakat atau kecerdasan mana yang paling dominan untuk dikembangkan pada anak. Setiap orang tua tentu ingin anaknya memiliki bakat yang luas. Contohnya bisa bermain musik, berbahasa, berhitung atau matematika dan kombinasi lainnya. Tetapi, kita harus sadar bahwa dominasi otak itu ada dua belahan, kanan dan kiri yang keduanya memiliki sifat yang saling berlawanan. Seperti misalnya dari cara berpikirnya, otak kanan itu lebih majemuk atau global sedangkan otak kiri itu bersifat linear. Otak kanan itu lebih imajinatif namun otak kiri lebih analitik. Dan lain-lain seperti hal yang berlawanan otak kanan-otak kiri yaitu, divergen-konvergen, konkret-abstrak, bebas-proporsional. Oleh karena itu, kedua belahan otak inilah yang lebih menentukan bakat dominan pada anak. Alasannya sederhana, karena kita lebih mudah mengidentifikasinya. Tinggal menentukan kiri atau kanan dominansi otak anak itu.

Ada alasan kuat yang mengharuskan kita untuk mengembangkan bakat tunggal dominan seorang anak. Pernahkah kita melihat seseorang benar-benar ahli dalam beberapa bidang sekaligus. Apakah ada seseorang yang jenius matematika seperti Leonhard Euler sekaligus merangkap seperti Picasso yang jagoan melukis?. Apakah ada pemain sepak bola terkenal, seperti Christiano Ronaldo merangkap sekaligus sebagai ahli fisika? (meskipun sering kita lihat dia selalu tepat menendang bola ke gawang dengan pertimbangan analisis fisika yang kompleks dengan cepat, namun itu hanya insting dan naluri berkat banyak latihan dan percobaan yang telah dilakukan). Karena bakat dominan itu sebenarnya tunggal.

Apakah jika kita melihat orang itu hanya memiliki satu bakat kemudian kita menilainya buruk? kenyataannya memang begitu. Namun itulah sebenarnya keunikan. Coba kita pikir misalkan semua orang itu ahli bahasa dan musik, bagaimana mungkin teknologi maju seperti sekarang bisa tercapai, karena hal itu berkat kontribusi para ahli-ahli sains. Sebaliknya, misalkan semua orang jago di bidang sains, kehidupan ini tentu kaku karena budaya berbahasa, dan musik yang mempesona sebagai seni terindah itu tidak ada.

Jadi, mari kita kenali bakat-bakat dominan yang terpendam dalam diri anak-anak Indonesia. Jangan hanya memberikan fasilitas lalu berdiam diri (pendidikan gratis yang tidak benar-benar gratis). Pendidikan sejatinya bukan membebani anak dengan kemampuan dalam banyak hal. Namun yang lebih penting adalah bagaimana memaksimalkan kemampuan itu. Karena dengan kemampuan maksimal itulah yang mampu dan bisa membuat Indonesia tercinta ini maju dan bukan sekadar berkembang. Semoga.