Dalam kehidupan ini sering kita jumpai praktek tindakan pemberian suap dalam hal dan tujuan yang bermacam-macam. Penyuapan ini bisa dalam bentuk uang, hadiah, jabatan, atau hal lainnya yang menguntungkan untuk mendorong atau menekan pihak tertentu atas kepentingan pemberi suap secara tidak sah [2]. Dalam pandangan moral, kita dapat dengan menilai tindakan penyuapan adalah tindakan yang tidak baik karena dapat berpotensi merugikan pihak-pihak lain. Demikian dalam agama Islam, perilaku penyuapan pun adalah tindakan yang dilarang dalam batas-batas tertentu.

Dalam Islam, suatu perkara diperbolehkan dan dilarang dikategorikan dalam bentuk sesuatu yang halal dan haram. Penilaian sesuatu halal dan haram ada yang sudah jelas tertulis dalam Al-Quran, sunnah dan hadist, namun juga ada yang belum tertera jelas sehingga diperlukan kesepakatan dari para ulama. Penilaian halal dan haram perlu adanya suatu parameter terinci yang menjadi tolak ukur. 

Dengan melihat adanya suatu aturan dalam Islam yang berasal langsung dari Sang Pencipta melalui kitab dan utusan-Nya, seyogyanya manusia menyadari bahwa apa yang diperbolehkan dan dilarang ada maksud dan tujuan tertentu. Di sini kita menyadari peran ilmu adalah sangat penting bagi setiap kaum muslimin untuk bisa menggali hakikat dari maksud tersebut. Berkali-kali tertuang di beberapa Al-Quran dan hadist keutamaan orang-orang berilmu. Sehingga terlihat bahwa menjalani syariat Islam dengan landasan ilmu lebih utama jika kita hanya berupaya mengikutinya tanpa dasar pengetahuan yang kita ketahui [3]. Begitupun oleh setiap ulama yang melakukan kesepakatan bersama menilai sesuatu halal dan haramnya perkara, maka diperlukan kecakapan ilmu dalam menilai apakah sesuatu perkara itu menimbulkan lebih banyak hal yang baik atau buruk. Menguak dan memahami maksud yang ada dan belum terlihat jelas perlu usaha bagi setiap muslim untuk merenungi dan berpikir. Sehingga landasan ilmu dan pengetahuan terhadap suatu perkara yang dilarang dan diperbolehkan dapat diterima dengan akal dan menjadi sebuah kewajaran bahkan diharapkan sudah menjadi kebiasaan/tradisi.

Misalkan kita dihadapkan pada sebuah minuman yang kita ketahui ada racun didalamnya, apakah kita mau meminumnya? contoh lainnya misalkan kita tahu di dalam suatu rumah ada binatang buas, apakah kita mau untuk memasukinya? Jika kita memiliki pemahaman yang jelas bahwa larangan adalah merugikan kita bisa jadi kita tidak akan melakukan perbuatan itu. Hal yang jadi masalah bagaimana kita tahu ada racun di dalam minuman atau ada binatang buas di dalam rumah tersebut?

Perlu kita ketahui kadang sesuatu larangan yang kita tidak mengetahui batasan tentang hal itu, maka dapat berdampak kepada keburukan dan mematikan langkah kita sendiri. Kebaikan dan keburukan dalam pandangan tertentu memang terlihat kentara dengan batasan yang jelas, dimana melalui ajaran agama kedua hal teesebut ada ganjaran pahala dan dosa. Dalam tingkatan tertentu mungkin orang-orang mengharap pahala dan menghindari dosa sebagai bentuk kepatuhan kepada Tuhan. Dalam tingkatan lain mungkin orang-orang menghindari keburukan untuk menjaga dirinya berakibat tidak baik bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dalam Islam, inti dari semua bentuk tindakan dan penyerahan diri berujung kepada mencari keridhaan Allah. Seorang muslim yang hakiki dalam semangatnya berbuat baik dan beribadah bukanlah lagi mencari pahala [4], namun lebih dari itu, upaya mencari cara kedekatan kepada Ilahi menjadi tujuan yang utama.

Sebagai landasan utama untuk tolak ukur dalam menjalani kehidupan salah satunya ada di Al-Quran pada surah Al-Baqarah ayat 196 [1]


"Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu dengan tanganmu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah swt. mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (2:196)

Dalam ayat ini diperintahkan untuk berupaya menghindarkan diri dari kebinasaan atau dalam padanan kata lain adalah suatu hal buruk. keaniayaan, kejahatan, hal negatif, dan sebagainya. Anjuran untuk menghindari ini ada di kalimat berikutnya, "dan berbuat baiklah", sehingga cara untuk menghindari dari kejahatan adalah dengan kebaikan. Tidak ada balasan dari kejahatan adalah dibalas juga dengan kejahatan. Kebaikan untuk semua hal sedangkan kejahatan semestinya tidak ada ruang sama sekali untuk berkembang. 

Kembali lagi ke masalah tentang penyuapan, kita lihat Al-Quran pada surah Al-Baqarah ayat 189 [1]


"Dan, janganlah makan hartamu di antara kamu dengan jalan batil, dan jangan pula kamu serahkan harta itu sebagai suapan kepada para penguasa supaya kamu dapat memakan sebagian harta dengan cara berbuat dosa, padahal kamu mengetahui." (2:189)

Jika kita memahami ayat di atas secara sepintas kita akan menilai bahwa memberi suap adalah dilarang dalam Al-Quran. Namun perlu kita perlu perhatikan ada kata-kata berikut sesudah kalimat larangan,
(1) "supaya kamu dapat memakan sebagian harta dengan cara berbuat dosa".
(2) "padahal kamu mengetahui"

Perlu kita memahami bahwa selama kita berada diluar kondisi (1) dan (2) maka penyuapan adalah tindakan yang dilarang dalam Al-Quran. Sehingga jika kita negasikan kedua pernyataan di atas, menjadi
(1) Melakukan suapan bukan dengan maksud untuk memakan sebagian harta dengan cara berbuat dosa (merugikan orang lain)
(2) Melakukan suapan dengan tidak mengetahui bahwa itu akan berdampak buruk bagi orang lain dan sekitar

Untuk kondisi (1) mungkin bisa terjadi, karena pemberian semacam uang, hadiah, atau imbalan dengan bermaksud tidak merugikan orang lain dan berupaya melindungi hak-hak pribadi adalah diperbolehkan. Sedangkan kondisi (2) bisa jadi jarang terjadi, namun dalam kondisi tertentu hal tersebut bisa juga mungkin. Sehingga kalaupun itu terjadi yang perlu dilakukan adalah memohon ampunan kepada Allah atas segala kekhilafatan dan ketidaktahuan.

Contoh sederhana adalah ketika seseorang sedang berjalan menuju suatu tempat. Tiba-tiba ditengah perjalanan ada sekelompok preman yang meminta uang/upeti sebagai bentuk perizinan. Preman tersebut mengancam dengan keras apabila tidak diberikan uang upeti tersebut akan melakukan hal buruk kepada setiap pengendara jalan. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan orang yang lewat tersebut memberikan upeti sebagai upaya memenuhi permintaan preman. Hal ini bukanlah sebagai penyuapan. Ini sebagai salah satu upaya menghindarkan diri dari keaniayaan seseorang, yaitu tindakan buruk preman meminta upeti. Ini sejalan sebagaimana diperintahkan dalam Al-Quran. [2]

Contoh lainnya misalkan terkait perizinan suatu tempat usaha dagang. Pada suatu saat ada ancaman yang datang dari oknum yang mengaku dari pemerintah meminta paksa uang perizinan dari setiap pedagang yang memiliki lapak. Jika permintaan tersebut tidak dipenuhi maka ada ancaman lapak dari pedagang akan dihancurkan dan dibakar. Sehingga untuk menghindari hal itu maka tiap pedagang secara kolektif mengumpulkan uang untuk oknum tersebut. Upaya ini bukanlah juga bentuk penyuapan. 

Kedua contoh yang diberikan memang terlihat jarang terjadi. Bisa jadi kita tidak terima apabila hak kita dirampas begitu saja oleh orang lain, dan sebisa mungkin kita akan melawannya. Namun contoh sederhana di atas adalah sebagai bentuk model dimana tindakan memberikan uang tidak melulu sebagai bentuk penyuapan tetapi hanya bentuk perumpamaannya saja. Mungkin sebagian besar orang menilai penyuapan itu dilarang meskipun tidak berada pada dua kondisi di atas, dan tetap dengan keyakinan bahwa hal itu berdampak dosa. Misalkan pada contoh pertama seorang muslim yang yakin betul memberikan suatu uang kepada orang lain karena ancaman adalah dilarang dalam Islam, padahal dia mempunyai uang yang cukup untuk diberikan kepada preman. Maka hal terbaik adalah memberikan uang tersebut guna menghindari perselisihan yang berdampak buruk. 

Mungkin kita berpikir dengan tidak memberikan uang tersebut kepada preman akan menghindarkan preman dari perbuatan dosa. Sehingga dengan tidak langsung kita berupaya mencegah kedzaliman dari preman yang meminta uang dengan paksa. Tetapi kembali lagi apakah kita mampu untuk menahan keaniayaan atau kekerasan yang menimpa kita dari preman tersebut apabila ternyata preman tersebut marah dan berbuat kejahatan kepada kita?

Demikian penjelasan mengenai dasar larangan dalam Islam dengan mengambil contoh tindakan penyuapan. Sesuatu hal menjadi sebuah larangan perlu kita pahami lebih dalam apakah hal tersebut akan merugikan kita dan orang lain. Jangan sampai pemahaman mengenai larangan yang kurang tepat terhadap sesuatu menjadi sebuah landasan ataua acuan yang dapat mematikan langkah kita dalam menjalani kehidupan. Semoga langkah-langkah kita selalu mendapat bimbingan dari Allah SWT sehingga senantiasa terhindar dari keburukan-keburukan yang menimpa diri kita. Aamiin. 

Referensi :
[1] Al-Quran dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat (file format *.chm, bisa dibuka dengan CHM Viewer)
[2] Malfuzat Jilid 3, Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s, Definisi Uang Suap & Larangan Melakukan Riswat (Suap).
[3] Malfuzat Jilid 7Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s, Pengetahuan dan Makrifat
[4] Malfuzat Jilid 4, Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s, Melawan Nafsu juga merupakan Ibadah