Mengingat masa lalu ketika di SMA, saya sadar di perkuliahan ini hal yang dulu nampak luar biasa menjadi terasa biasa saja.
Ketika SMA saya selalu tertarik terhadap rumus-rumus yang muncul di buku yang saya baca. Rasa penasaran yang pertama kali muncul adalah mengenai rumus volume bola. Dalam pikiran saya waktu itu kenapa muncul 4/3 di dalam perhitungannya. Kemudian rumus untuk bilangan deret PI, dimana bilangan PI dapat disusun dari deret bilangan tak terhingga. Ada juga rumus statistik untuk menentukan kelas interval dari tabel frekuensi. Kemudian rumus identitas euler di bilangan kompleks. Tidak hanya rumus-rumus di Matematika saja, saya juga tertarik ke Kimia dan Fisika. Persamaan Schrodinger, ini muncul ketika saya kelas XI waktu belajar sistem atom modern di Kimia. Kemudian persamaan Maxwell ketika mempelajari gelombang elektromagnetik. Satu yang membuat saya kagum dari persamaan Maxwell ini dapat membuktikan bahwa kecepatan cahaya adalah 3x10^8. Masih banyak lagi persaman-persamaan lain yang membuat hidup saya dipenuhi rasa keingintahuan yang besar terhadap ilmu pengetahuan.
Ketertarikan terhadap rumus-rumus tersebut membuat saya menjadi penasaran, "Bagaimana penurunannya? Kok bisa persamaannya seperti itu?" Saya selalu merasionalisasi rumus-rumus yang ada.
Dengan melakukan penurunan terhadap rumus dapat diketahui asal muasal hukum atau teorema apa yang membentuknya. Saya menganggap persamaan tertentu seperti bagian-bagian dari pohon. Pohon terbentuk dari ujung akar sampai ujung daun. Dimana pijakkan awalnya adalah dari akar membentuk dan menopang batang kemudian cabang dan ranting. Semuanya saling terkait, terhubung satu sama lain. Ketika hubungan itu terbentuk dan kita memahaminya maka sangat memuaskan batin dan rasa ingin tahu.
Di perkuliahan saya tidak menyangka, hidup saya dipenuhi persamaan-persamaan asing yang saya tidak tahu penurunannya. Saya tidak punya waktu banyak lagi untuk mencoba melakukan penurunan sendiri terhadap rumus-rumus yang ada. Tidak ada waktu untuk melakukan eksplorasi dan perenungan lagi. Berbeda dengan di SMA dimana saya memiliki waktu yang banyak dimana sebagian besar saya luangkan untuk mengeksplorasi persamaan-persamaan yang saya tidak ketahui. Akhirnya saya tidak sempat menyentuh persamaan-persaman itu lagi sehingga tidak ada lagi kaitan-kaitan yang terbentuk. Ini membuat saya tidak memahaminya sama sekali. Hal yang dapat saya lakukan adalah menerima rumus apa adanya, menggunakan dan menggantinya dengan angka tanpa tahu apa-apa.
Seandainya saya punya waktu banyak, saya ingin sempatkan waktu untuk mengeksplorasi semuanya.
Akhirnya pola pikir saya mulai terbentuk. Hidup sebagai calon 'enjineer' memang tidak sepantasnya berkutat dengan penurunan rumus-rumus. Akhirnya semuanya menjadi ketertarikan biasa saja.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
ada yang bilang kalau engineer tinggal pakai persamaan yang udah jadi aja buat bikin aplikasi. Kalau masalah penurunan, itu tugasnya orang MIPA
Iya, saya juga sering mendengar pendapat itu. Untuk melakukan penurunan rumus mengharuskan engineer memahami pondasi dasar dari ilmu yang dipelajarinya, terutama bagaimana konsep awal fisikanya dan matematika sebagai tools untuk memodifikasi tiap persamaan menjadi bentuk rupa yang lain, sebagai contoh di yang pernah saya dapet di Teknik Telekomunikasi yaitu rumus untuk menghitung bandwidth, $\beta = 2(\delta\omega + \omega_s)$. Rumusnya sangat sederhana dan sebenarnya hanya pendekatan, namun untuk mendapatkannya diperlukan analisa matematika yang mendalam dari mulai persamaan integral tertentu yang tidak diperoleh definisi eksaknya, hingga sampai teori Bessel Function untuk mencari solusi dari persamaan integral itu. Tetapi ketika tahu bagaimana langkah-langkahnya kita bisa tahu konsep awalnya dan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan modifikasi atau bahkan cara baru untuk mendapatkan rumus yang ada.
Post a Comment