Setiap awal pasti ada akhir, setiap perjumpaan pasti ada kesan dan setiap pertemuan selalu ada perpisahan. Dan begitulah adanya. Bagaimanapun terdapat cara untuk menolak tentang keberadaannya, sama saja mengurung diri di dalam prodeo pikiran.

Sedih?
Iya juga sih tapi buat apa.
Senang?
Namun hanya sesaat.

Keberpasangan dalam realitas fisik memang layaknya romeo dan juliet. Ada hitam, ada putih. Ada terang, ada gelap. Ada panas, ada dingin. Ada cowok, ada cewek. Ada bertemu, ada kalanya berpisah.

Untuk yang terakhir, sudahlah dibiarkan saja. Entah, keberadaannya padahal cuma memberikan impress yang bernuansa formalitas. Kalaupun keberadaannya ditiadakan, toh tidak menjadi masalah. Dan memang itu bukan masalah, yang benar-benar menjadi masalah, 'one's as the scapegoat', 'single-affected-problem', ialah waktu.

Andai tidak ada waktu pasti dunia ini tidak mengenal awal dan akhir. Karena awal dan akhir tercipta karena selang waktu. Dan lebih parah lagi, tidak akan ada perpisahan. Ini tidak cukup dari lebih baik.

Kenyataannya benar-benar mustahil.

Sebenarnya saya benar-benar bingung untuk menuliskan tentang Perpisahan Sekolah ini. Terlintas ide, kemudian ditambah pengaruh novelnya Andrea Hirata (Wuih.. permainan kata-katanya sangat hebat, saya salut kepadanya) akhirnya selesai juga tulisan di atas, yang tidak jelas maksud dan tujuannya apa.